Sabtu, 23 November 2013

Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
            Empat belas abad yang lalu, Allah telah menurunkan Al-Quran kepada umat manusia sebagai kitab penuntun. Allah menyeru umat manusia mengikuti Al-Quran agar dapat menemukan kebenaran. Sejak Al-Quran diturunkan hingga tiba hari perhitungan, kitab suci terakhir ini menjadi satu-satunya tuntunan bagi manusia.
            Gaya bahasa Al-Quran yang tak tertandingi, dan ilmu tinggi di dalamnya adalah bukti nyata ia merupakan firman ilahi. Di samping itu, Al-Quran mempunyai banyak sifat ajaib yang membuktikan bahwa ia adalah pengungkapan kebenaran dari Allah. Salah satu keajaiban itu adalah fakta bahwa sejumlah kebenaran ilmiah yang dapat diungkap manusia dengan sains dan teknologi abad ke-20 dinyatakan Al-Quran 1400 tahun yang lalu.
            Allah berfirman dalam Al-Quran-Nya:
óOÎgƒÎŽã\y $uZÏF»tƒ#uä Îû É-$sùFy$# þÎûur öNÍkŦàÿRr& 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ öNßgs9 çm¯Rr& ,ptø:$# 3 öNs9urr& É#õ3tƒ y7În/tÎ/ ¼çm¯Rr& 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« îÍky­ ÇÎÌÈ  
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”


            Berkenaan dengan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir berkata, “Kami (Allah) akan perlihatkan pada mereka tanda-tanda dan dalil-dalil kami bahwa Al-Quran itu adalah hak dan ia diturunkan dari sisi Allah kepada rasul-Nya dengan tanda-tanda yang terang (alami)”[1]
            Untuk memahami dan mendapatkan bukti dan dalil dari alam maka ulama membuat suatu metode tafsir baru, yaitu tafsir sains. Tafsir semacam ini belum ada pada masa nabi dan sahabat.
            Para ulama telah membahas tentang tafsir ini secara mendalam. Secara umum telah terjadi silang pendapat di antara ulama atas keabsahan tafsir sains. Kontroversi inilah yang mendorong penulis untuk membuat paper dengan judul “Kontroversi Tafsir Sains di Kalangan Ulama”, dengan harapan agar kita bisa tahu tentang kontroversi tersebut. Dan dalam paper ini penulis juga menyertakan sebagian ayat-ayat sains, agar keyakinan kita bisa lebih mantap akan kebenaran Al-Quran.

1.2 Rumusan Masalah
            Dari latar belakang di atas maka penulis akan merumuskan hal-hal yang akan dibahas pada paper ini agar tidak terlalu meluas. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.      Apa saja macam-macam metode tafsir Al-Quran?
2.      Apa yang dimaksud tafsir sains?
3.      Bagaimana pandangan ulama tentang tafsir sains?

1.3 Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan paper ini sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui macam-macam metode tafsir Al-Quran.
2.      Untuk mengetahui maksud tafsir sains.
3.      Untuk mengetahui pandangan ulama tentang tafsir sains.

1.4 Manfaat Penulisan
            Manfaat yang bisa diambil dari makalah ini di antaranya sebagai berikut:
Ø  Bagi penulis
a.   Dapat mengetahui bermacam-macam metode penafsiran Al-Quran.
b.  Dapat mengetahui kontroversi tafsir sains secara lebih mendalam.
c.   Lebih menguatkan keimanan pada Al-Quran dengan sains di dalamnya.
Ø  Bagi pembaca
a.   Sebagai bahan informasi untuk mengetahui ilmu alam dalam Al-Quran.
b.  Sebagai pemantap keimanan atas kemukjizatan Al-Quran.
Ø  Bagi lembaga
a.   Dapat dipakai sebagai rujukan dalam kegiatan belajar-mengajar, terutama dalam pelajaran tafsir pada program IPA.
b.  Sebagai tambahan koleksi paper di sekolah.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Macam-Macam Metode Tafsir
            Di saat Al-Quran diturunkan, rasulullahlah yang berfungsi sebagai penjelas, menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran. Akan tetapi, setelah rasulullah wafat mereka terpaksa melakukan ijtihad dalam menafsirkan Al-Quran. Dan pada saat itu timbullah beberapa metode tafsir yang berbeda-beda karena tidak ada lagi seorang penjelas tentang arti dan kandungan Al-Quran.
            Syekh Khalid Abdurrahman membagi metode-metode itu menjadi beberapa bagian, yaitu: metode an-naqli (tafsir bil-ma’tsur), metode sastra bahasa (tafsir lughawi), metode al-‘aqli (tafsir bir-ra’yi) atau disebut juga metode penalaran, metode ijtihad (tafsir ijtihadi), metode filsafat dan teologi, metode filsafat sufistik (metode tasawuf), metode ilmiah (tafsir al-‘ilmi) atau disebut juga tafsir sains, dan metode sastra sosio-kultural.[2] Insya Allah akan kami bahas satu-persatu.

2.1.1 Metode an-Naqli (Tafsir Bil-Ma’tsur)
Metode ini menurut Dr. Quraish Shihab adalah metode penafsiran yang bersumber dari tiga bagian, yaitu penafsiran rasulullah, penafsiran sahabat, dan penafsiran tabiin.[3] Berbeda dengan Ustad Muzammil, beliau mendefinisikan metode tafsir ini sebagai tafsir yang berlandaskan atas sumber yang sahih. Sumber tersebut mencakup ayat Al-Quran yang menjelaskan dan memperinci ayat yang lain, penafsiran rasulullah, penafsiran sahabat, dan penafsiran tabiin.[4]
Contoh tafsir bil-ma’tsur yang berupa ayat yang menerangkan dan memperinci ayat yang lain, yaitu firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 187, sebagai berikut:
 (#qè=ä.ur (#qç/uŽõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝøsƒø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsƒø:$# ÏŠuqóF{$# z`ÏB ̍ôfxÿø9$# (
Artinya:
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
Dalam ayat di atas, kata al-fajr menjadi penjelas terhadap makna kata “benang putih” yang ada sebelumnya. Sedangkan contoh penafsiran rasulullah terhadap salah satu ayat Al-Quran adalah penafsiran beliau terhadap kata adz-dzulmu (kegelapan) dengan syirik pada ayat berikut:
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=tƒ OßguZ»yJƒÎ) AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbrßtGôgB ÇÑËÈ  
Artinya:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”[5]

2.1.2 Metode Sastra Bahasa
Metode sastra Arab yang disebut juga tafsir lughawi adalah menjelaskan makna-makna Al-Quran dengan kosakata dan susunan bahasa Arab yang dipakai oleh Al-Quran pada masa ia diturunkan.[6]
Metode ini timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Quran di bidang ini[7].
Contoh tafsir sastra bahasa ialah ketika Umar bin Khatthab pernah bertanya tentang arti kata takhawwuf dalam ayat berikut:
÷rr& óOèdxäzù'tƒ 4n?tã 7$qsƒrB ¨bÎ*sù öNä3­/u Ô$râäts9 íOÏm§ ÇÍÐÈ  
Artinya:
“Atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa).  Maka sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan bahwa artinya adalah ”pengurangan”. Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-Islam. Ketika itu Umar merasa puas dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka memahami Al-Quran.

2.1.3 Metode al-‘Aqli (Metode Penalaran)
Metode al-‘aqli atau metode bir-ra’yi adalah penafsiran secara ijtihadi setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab, cara bicara pemakainya, lafad-lafad Arab dan penunjukannya. Di samping itu, juga mengetahui asbabun-nuzul dan nasikh-mansukh serta berpedoman pada syair-syair Arab pra-Islam. Metode ini bisa diterima apabila mufassirnya menjauhi lima perkara:
1.      Memaksakan diri untuk menjelaskan makna yang dimaksud Al-Quran, sedangkan dia tidak tahu tentang kaidah-kaidah bahasa Arab dan prinsip-prinsip syariat.
2.      Mendalami ayat yang maknanya hanya diketahui secara pasti oleh Allah. Seperti ayat-ayat mutasyabbihat yang tidak diketahui maksudnya secara pasti, kecuali oleh Allah sendiri.
3.      Mengikuti hawa nafsu dan bersikap istihsan (menganggap baik). Seorang mufassir tidak boleh menafsirkan Al-Quran berdasarkan hawa nafsunya dan menguatkan dengan menganggap baik hal tersebut.
4.      Tafsir yang didasarkan pada ideologi yang keliru. Contohnya, seorang mufassir menjadikan ideologinya sebagai dasar dari penafsirannya itu, dan dia juga memaksakan penafsirannya agar cocok dengan ideologinya, bagaimanapun caranya.
5.      Menafsirkan dengan cara memastikan bahwa yang dimaksud oleh Al-Quran adalah begini dan begitu, tanpa ada dalil dari syariat.
Dengan ketentuan di atas maka tafsir al-‘aqli bisa dibagi menjadi dua bagian: bagian yang dipuji dan diterima dan bagian yang dicela dan ditolak. Contoh tafsir yang dicela adalah pendapat ath-Thabrasi dan ulama-ulama syiah bahwa kepemimpinan adalah hak Sayidina Ali dan bahwasanya beliaulah pengganti rasulullah. Dia juga berpendapat bahwa para imam syiah terpelihara dari segala dosa. Dan dia juga membatasi ahlulbait hanya pada rasulullah, Fatimah, Hasan dan Husein. Untuk memperkuat pendapatnya ini, dia berlandaskan pada ayat berikut:
$yJ¯RÎ) ߃̍ムª!$# |=ÏdõãÏ9 ãNà6Ztã }§ô_Íh9$# Ÿ@÷dr& ÏMøt7ø9$# ö/ä.tÎdgsÜãƒur #ZŽÎgôÜs? ÇÌÌÈ  
Artinya:
“Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Dia menafsirkan ayat di atas dengan penafsiran yang hanya memuaskan hawa nafsunya sendiri dan menguatkan pendapatnya. Akhirnya dia sampai pada kesimpulan bahwa para imam syiah itu ma’sum (terpelihara dari dosa) seperti nabi.

2.1.4 Metode Ijtihadi
Metode ijtihadi adalah metode tafsir yang mana mufassir memberikan pemaparan dengan ijtihadnya dalam memahami makna nas-nas Al-Quran dan menyingkap tentang sasaran-sasaran lafad dan yang dimaksudkan oleh nas-nas tersebut.[8]
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah bahasa dan arti yang dikandung oleh kosakata. Namun, sejalan dengan laju perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.[9]
Sebenarnya metode ijtihadi ini hampir sama dengan tafsir bir-ra’yi. Perbedaannya terletak pada istilah dan cara pengungkapannya saja. Sedangkan makna atau maksud yang dituju adalah sama.[10]

2.1.5 Metode Filsafat dan Teologi
Metode ini timbul akibat penerjemahan kitab-kitab filsafat yang mempengaruhi sebagian pihak, serta akibat masuknya penganut-penganut agama lain ke dalam Islam, yang secara sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan mereka.[11]
Dari itu maka timbullah kontroversi mengenai metode tafsir ini. Secara garis besar mereka terbagi dalam dua kelompok:
Kelompok pertama. Mereka menolak metode ini karena menemukan pertentangan antara metode ini dengan agama. Adapun yang menolak tafsir ini ialah al-Ghazali dan ar-Razi. Mereka telah menentang dalam kitab tafsirnya terhadap pandangan-pandangan filsafat yang di dalamnya jelas mengandung pertentangan dengan agama dan Al-Quran.
Kelompok kedua. Mereka mencocokkan antara fisafat dan agama serta menghilangkan pertentangan di antara keduanya. Ulama yang mendukung metode ini salah satunya adalah al-Farabi dalam kitabnya Fushushul-Hikam.[12]

2.1.6 Metode Filsafat Sufistik
Dalam bidang studi Al-Quran dikenal adanya corak penafsiran sufistik. Corak tafsir seperti itu dibagi menjadi dua: tafsir sufistik teoritis dan tafsir sufistik isyari. Kedua metode ini timbul karena berdirinya gerakan-gerakan sufisme sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.[13]
Jenis pertama, yakni penafsiran sufistik teoritis, didasarakan atas prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh para pemikir ilmu tasawuf. Dalam jenis yang pertama ini seorang mufassir akan memahami Al-Quran melalui prinsip-prinsip itu, bukan memahaminya secara tekstual.
Contohnya adalah penafsiran Ibnu Arabi yang dipengaruhi oleh teori “wihdatul-wujud”.
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur
Artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya” (QS, an-Nisa’: 1)
Dalam menafsirkan ayat itu, ia berkata, “Jadikanlah bagian luar dirimu sebagai pemelihara Tuhanmu dan jadikanlah bagian dalam dirimu (Tuhanmu) pemelihara dirimu.” Ia juga berkata, “Setiap sesuatu bisa saja terpuji atau tercela. Maka dari itu, jadilah kamu sekalian pemelihara Allah dari ketercelaan; dan jadikanlah Dia (Tuhan) pemeliharamu dari hal-hal terpuji, maka kamu sekalian akan menjadi orang-orang yang beradab.”
Jenis yang kedua, yakni penafsiran sufistik isyari, tidak menggunakan prinsip-prinsip sufistik tertentu dalam memahami Al-Quran. Akan tetapi, menggunakan sarana intuitif dalam mencapai makna-makna yang tersirat dalam ayat Al-Quran. Para penafsir isyari berpendapat bahwa apa yang didapatnya dengan sarana intuitif bukanlah keseluruhan makna Al-Quran, melainkan sebagian dari yang dikandungnya saja.[14]
Pada jenis kedua ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar diterima keabsahannya. Yakni sebagai berikut:
1.      Makna tersirat yang dipahami melalui tafsir isyari tidak meniadakan makna tersurat Al-Quran.
2.      Penafsir isyari tidak boleh mengklaim bahwa makna tersirat itu adalah satu-satunya makna yang benar, ia juga harus mengakui keberadaan makna tersurat dari Al-Quran.
3.      Secara keagamaan (syar’i) dan logika tidak mengandung kontradiksi.
Contohnya adalah penafsiran al-Alusi terhadap ayat ke-55 surah al-Baqarah sebagai berikut:
øŒÎ)ur óOçFù=è% 4ÓyqßJ»tƒ `s9 z`ÏB÷sœR y7s9 4Ó®Lym ttR ©!$# Zotôgy_ ãNä3ø?xyzr'sù èps)Ï転Á9$# óOçFRr&ur tbráÝàYs? ÇÎÎÈ  
Artinya:
 “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya.”
Dalam rangka aplikasi tafsir isyari ia berpendapat bahwa ayat tersebut dapat dipahami sebagai berikut:
“Dan ketika kamu sekalian berkata wahai Musa, kami tidak akan beriman secara hakiki hingga kami mencapai posisi musyahadah (menyaksikan) dan ‘iyan (jelas). Maka mereka disambar petir “kematian” yang tak lain merupakan fana dalam penampakan Zat Tuhan, dan kamu sekalian melihatnya. Kemudian kami bangkitkan semua dengan kehidupan yang sebenarnya dan kekekalan setelah fana, supaya kamu mensyukuri nikmat tauhid dan mencapai Allah. Dan kami naungi kamu semua dengan naungan penyingkapan sikap, karena sikap itu menyelubungi matahari Zat.”[15]

2.2 Definisi Tafsir Sains
  
2.2.1. Definisi Tafsir Sains
Tafsir sains secara etimologi terdiri dari dua kata, yaitu tafsir dan sains. Kata tafsir adalah kata serapan dari bahasa Arab yang ikut wazan taf’il dari fiil madi fassara yang diderivasikan dari akar kata al-fasru dan makna kamusnya adalah menerangkan atau menyatakan.[16] Ahmad bin Faris berkata dalam kitab Maqayis al-Lughah bahwa lafad fasru adalah kalimat yang menunjukkan arti menerangkan sesuatu dan menjelaskannya.[17] Sedangkan sains adalah ilmu pengetahuan sistematik yang dapat dibuktikan kebenarannya.[18]
Sedangkan secara terminologis, tafsir sains diartikan berbeda-beda oleh ulama. Menurut Abdul Majid az-Zandani tafsir sains adalah mengungkap makna ayat-ayat Al-Quran atau hadis yang kebenarannya didukung oleh teori-teori ilmu alam. Sedangkan, menurut Dr. Muhammad Zarzur tafsir sains adalah tafsir yang berlandaskan percobaan-percobaan dan teori ilmiah dalam membahas ayat-ayat kealaman dan penciptaan manusia, yang mana ayat-ayat tersebut ada di beberapa tempat dan dengan susunan yang berbeda.[19]
Dari beberapa definisi di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa tafsir sains adalah mengungkap makna ayat-ayat Al-Quran dengan menggunakan kenyataan ilmiah sesuai dengan makna kebahasaan dan hasil-hasil penelitian alam semesta.

2.2.2 Syarat-Syarat Tafsir Sains
Untuk menerapkan tafsir sains terhadap ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran diharuskan terpenuhinya beberapa ketentuan. Secara garis besar ketentuan itu dapat dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, memperhatikan gaya Al-Quran dalam menyampaikan hakikat alam semesta. Dengan penelitian secara mendalam terhadap Al-Quran dapat kita temukan dasar-dasar yang menjadi landasan gaya-gaya Al-Quran dalam menyampaikan hakikat alam semesta, yaitu sebagai berikut:
Ø  Al-Quran menyampaikan ayat-ayat yang berisi hakikat alam semesta sebagai pendukung terhadap tujuan utama dari penurunan Al-Quran. Tujuan utama itu tak lain adalah memberi petunjuk dan mengarahkan manusia menuju kehidupan yang lebih baik.
Ø  Posisi Al-Quran dalam menyebut persoalan ilmu pengetahuan adalah sebagai titik awal mengkaji ilmu-ilmu itu.
Ø  Dalam penyebutan beberapa ilmu, Al-Quran menggunakan susunan bahasa yang mengandung unsur memuliakan manusia, dengan anggapan bahwa objek apapun yang dikaji manusia pada dasarnya dipersiapkan untuk kemaslahatannya. Jadi, bukan hanya untuk memuaskan gairah keingintahuan saja.
Ø  Al-Quran memberikan informasi tentang alam semesta secara sekaligus dua macam; global dan mendetail, dengan demikian informasi yang diberikannya selaras dengan generasi-generasi selanjutnya.
Ø  Al-Quran menyebutkan cabang ilmu pengetahuan yang sedang berlalu di masanya.[20]
          Kedua, memperhatikan ketentuan-ketentuan yang harus dimiliki seseorang yang akan menerapkan tafsir sains. Ketetuan-ketentuan itu sebagai berikut:
Ø  Harus memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati oleh ulama dalam menafsirkan Al-Quran secara umum.
Ø  Pembahasan ilmiah harus tidak menyeleweng dari tujuan utama Al-Quran, yaitu memberi petunjuk dan bimbingan. Maka dari itu, penggunaan tafsir sains hendaknya tidak berlebihan dalam membahas cabang-cabang dan persoalan yang mendetail.
Ø  Dalam praktiknya, penafsiran saintifik terhadap cabang-cabang ilmu tertentu harus menyesuaikan dengan masa kini dan cocok dengan pendapat mayoritas. Karena pembahasan alam semesta dan sastra, secara pasti dapat memberikan kemanfaatan tertentu jika digunakan dalam menafsirkan Al-Quran.
Ø  Penafsiran dilakukan dengan menggunakan hasil-hasil kajian ilmiah yang pasti yang bagi semua orang dapat diindra dengan pasti.
Ø  Bahan-bahan kajian yang ada dalam Al-Quran dianggap sebagai kenyataan yang pasti bahkan sebagai kenyataan yang mungkin alias perlu diteliti lebih lanjut. Juga tidak diperkenankan menakwil ayat tertentu jika lafad al-Quran tidak mengizinkan. Takwil diperkenankan selama ayat al-Quran tertentu mungkin dimaknai demikian, tanpa dibuat-buat dan menyimpang dari makna-makna yang dikandung lafad tertentu.
Ø  Tafsir sains tidak menimbulkan pertentangan di antara ayat tertentu dengan ayat yang lain.
Ø  Kandungan tafsir sains masih tergolong dalam makna ayat al-Quran tertentu, bahkan tafsir sains sesuai dengan susunan bahasa al-Quran (dalam tatanan penafsiran).
Ø  Memerhatikan ketentuan-ketentuan kebahasaan, diantaranya sebagai berikut:
¨      Memperhatikan makna kosakata al-Quran pada waktu ia diturunkan.
¨      Memperhatikan kaidah sintaksis dan penunjukannya.
¨      Memperhatikan kaidah balaghah dan penunjukannya, khususnya kaidah yang berbunyi “Tidak boleh mengganti makna denotatif dengan makna konotatif kecuali terdapat alasan (qarinah) yang cukup.
Ø  Mengumpulkan ayat-ayat yang saling berkaitan dalam suatu permasalahan tertentu. Hal ini akan menghasilkan sebuah tema dalam bentuk idealnya.
Ø  Tafsir sains digunakan dalam rangka memperkuat suatu teori, dan bukan sebaliknya. Jika hal ini terjadi (teori memperkuat tafsir sains) maka ini sama halnya dengan memutlakkan pengertian ayat tertentu. Hal ini dapat menimbulkan kesalahan-kesalahan yang tak mungkin dihindari karena ilmu pengetahuan itu terus berubah (teori-teori selalu diperbaharui). Jadi, ilmu pengetahuan tidak bisa digunakan untuk memutlakkan (memastikan) pengertian ayat (lafad) tertentu.

2.3 Pandangan Ulama tentang Hukum Tafsir Sains
          Para ulama telah membahas tentang tafsir sains secara mendalam. Secara umum, ulama dalam menghukumi tafsir sains terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang melegalkan dan memperbolehkan penggunaan tafsir sains dalam menafsirkan al-Quran, sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang melarang dan menolak penggunaan tafsir sains.

2.3.1 Para Pendukung Tafsir Sains
              Dewasa ini, tafsir sains memang sedang menjadi tren di dunia penafsiran al-Quran dan mendapat banyak perhatian dari para pakar di bidang ini. Fenomena ini tidak lepas dari kecenderungan masyarakat modern pada hal-hal yang bersifat ilmiah. Para pendukung tafsir ini percaya, bahwa dengan menafsirkan al-Quran dengan perangkat-perangkat keilmuan modern merupakan upaya mengungkap mukjizat-mukjizat al-Quran yang tidak akan pernah habis, dan demikian menjadi terbukti jika al-Quran memang selalu sesuai dengan zaman sampai kapanpun.[21]
              Salah satu mufasir kontemporer yang paling populer dalam memberikan perhatian yang cukup besar terhadap metode penafsiran ini, serta telah mengaplikasikannya dalam bentuk kitab tafsir yang sangat tebal adalah syekh Thanthawi Jauhari, dalam tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Jawahir (25 jilid).[22] Ulama-ulama lain yang mendukung dan membenarkan penggunaan tafsir sains di antaranya ialah, al-Ghazali, as-Suyuthi, Fakhruddin ar-Razi dan yang lain.
Para mufassir yang mendukung dan memperbolehkan tafsir sains secara umum berlandaskan pada firman Allah berikut:
óOn=sùr& (#ÿrãÝàZtƒ n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# ôMßgs%öqsù y#øx. $yg»oYøt^t/ $yg»¨Y­ƒyur $tBur $olm; `ÏB 8lrãèù ÇÏÈ  
Artinya:
“Maka Apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun?”
              Dalam ayat di atas jelas menunjukkan bahwa Allah menggalakkan supaya mengkaji bagaimana langit dibangun, dan tidak ada cara lain untuk mengetahui bagaimana ia dibangun kecuali dengan kajian sains. Selain itu, tafsir sains juga adalah satu cara baru dalam menunjukkan mukjizat-mukjizat Al-Quran dan menguatkan lagi mukjizat yang telah ada.
              Al Ghazali sebagai salah satu pendukung tafsir sains telah mengemukakan secara panjang-lebar alasan-alasan untuk membuktikan pendapatnya itu. Ia mengatakan bahwa segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu (masih ada atau telah punah) maupun yang kemudian; baik yang telah diketahui maupun belum, semua bersumber dari Al-Quran.
              Hal ini menurut al Ghazali, karena segala macam ilmu termasuk dalam af’al (perbuatan-perbuatan) Allah dan sifat-sifat-Nya. Sedangkan Al-Quran menjelaskan tentang Zat, perbuatan, dan sifat-Nya. Pengetahuan tersebut tidak terbatas. Dalam Al-Quran terdapat isyarat-isyarat menyangkut prinsip-prinsip pokoknya.[23] Hal terakhir ini dibuktikan dengan mengemukakan ayat dalam kitabnya, Jawahirul Quran:
#sŒÎ)ur àMôÊ̍tB uqßgsù ÉúüÏÿô±o ÇÑÉÈ  
Artinya:
Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, (As-Syuu’aara: 80)
              Obat dan penyakit, menurut Ghazali, tidak dapat diketahui kecuali oleh seseorang yang berkecimpung dalam bidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas merupakan isyarat tentang ilmu kedokteran.[24]
              Selain itu, secara luas Suyuthi, yang mendukung tafsir sains, mengemukakan beberapa landasan teoritis yang membenarkan pemakaian tafsir sains sebagai berikut:
1.      Landasan dari ayat al-Quran

a.       Firman Allah Surat Al-An’am Ayat 38

$tBur$¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4 ¢OèO 4n<Î) öNÍkÍh5u šcrçŽ|³øtä ÇÌÑÈ  
Artinya:
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”.


b.      Firman-Nya Surat An-Nahl ayat 89
$uZø9¨tRur šøn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« Yèdur ZpyJômuur 3uŽô³ç0ur tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9 ÇÑÒÈ  
Artinya:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
2.      Landasan dari hadis, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi
­ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ستكون فتن!، قيل: وما المخرج منها؟ قال: كتاب الله فيه نبأ ما قبلكم و خبر ما بعدكم وحكم ما بينكم. رواه الترمذي
Artinya:
Sesungguhnya rosulullah bersabda, “akan datang beberapa fitnah (cobaan)” Lalu beliah ditanyakan, “Apa yang bisa menyelamatkan kami darinya?” Kitab Allah (al Quran), di dalamnya terdapat peristiwa-peristiwa yang telah lampau, yang akan terjadi dan hokum diantara kalian. (HR. Tirmidzi)
Tentang masalah di atas Muzammil Imron (tth, 1) mengutip perkataan Syekh Thanthawi  Jauhari yang berbunyi:
 ”Mengapa para ulama mengarang beribu-ribu kitab tentang permasalahan fiqih, padahal dalam al-Quran sedikit sekali ayat-ayat yang menerangkan tentangnya? Dan kenapa kebanyakan karangan hanya menjelaskan tentang ilmu fiqih dan sedikit sekali yang menerangka ilmu-ilmu kealaman, padahal setiap surat dalam al-Quran tidak luput dalam membahasnya? Bahkan ayat-ayat kealaman iyu mencapai 750 ayat yang jelas dan disana masih terdapat ayat-ayat yang lain yang membahasnya secara samar, dan apakah boleh menurut akal dan syara’, mendalami sebuah ilmu yang ayat-ayatnya sedikit, sementara kita tidak tahu-menahu tentang ilmu yang ayatnya sangat banyak? Nenek moyang kita telah mendalami ilmu fiqih, dan bagi kita selayaknya mendalami ilmu kealaman pada masa sekarang agar dengannya kita bisa mendidik umat”
Dari beberapa argumentasi dan landasan yang telah dikemukakan di atas, menjadi jelas bahwa corak penafsiran seperti itu telah dikenal oleh banyak ulama dari generasi salaf dan sesudahnya. Maka dari itu, penafsir al-Quran diperkenankan menerapkan tafsir sains dengan persyaratan yang telah ditetapkan.

2.3.2. Para Ulama yang Menolak Tafsir Sains
Sebetulnya, tafsir sains belum disepakati ulama, sebagian menerima dan penukisan tafsirnya terpengaruh oleh corak tafsir ini, seperti yang telah dicontohkan di atas dan sebagian yang lain justru menolak sebagian yang lain justru menolak dan enggan menulis tafsir dengan corak pemikiran ini. Mereka hawatir melenceng dari maksud asal diturunkannya l-Quran sebagai petunjuk bagi manusia.
Ulama yang menentang tafsir sains ialah Atthabari, Imam Al-Khazin, Imam Ibnu Katsir, Imam As-Syatibi, Dr. Mahmud syaltut, Dr. Muhammad Husain Adz-Zahabi, Dr. M. Quraish Shihab dan masih banyak yang lain.
Di antara tokoh yang menolak corak tafsir ini adalah Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahabi. Sikap tegas Adz-Dzahabi tampak dalam kitab beliau yang berjudul At-Tafsir Wal-Mufassirun. Dalam kitab itu beliau memaparkan argumen-argumen kuat dalam menolak corak tafsir ini, antara lain sebagai berikut:
Pertama, dari segi kebahasaan. Bahwa penggunaan arti untuk suatu kata bisa berbeda-beda dalam berbagai periode yang berbeda, sejak kata itu dimunculkan hingga masa kini. Bahkan arti suatu kata bisa berkembang, sesuai dengan perkembangan indikasi-indikasi yang dimunculkannya di setiap periode. Dari sini kita bisa memastikan, bahwa suatu kata yang pada masa diturunkannya al-Quran menunjuk pada suatu arti tertentu, bisa jadi pada masa yang berbeda menunjukkan arti baru yang sama sekali berbeda dengan arti yang dikehendaki pada masa diturunkannya al-Quran.
Kedua, dari segi balaghah. Kita tahu, bahwa arti dari balaghah adalah kesesuaian ungkapan dengan keadaan yang menjadi sasarannya. Dan tentu sudah maklum, jika ungkapan-ungkapan dalam al-Quran menempati posisi tertinggi tingkat ke-balaghahan-nya. Nah, jika kita mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa ayat-ayat sains dalam al-Quran tidak mungkin dipahami kecuali dengan teori-teori sains modern, sudah barang tentu pernyataan ini memberangus segi ke-balaghahan al-Quran, dan ayat-ayat al-Quran bisa dituduh tidak sesuai dengan objek yang menjadi sasaran ketika diturunkannya (tidak muqtadhal-hal), yakni masyarakat Arab periode nabi bersama para sahabatnya.
Ketiga, segi keyakinan. Umat Islam sejak periode nabi hingga hari kiamat tiba, harus meyakini bahwa kebenaran al-Quran adalah selama-lamanya tanpa mempedulikan perkembangan yang dicapai ilmu pengetahuan pada periode-periode yang berbeda-beda. Artinya, kebenaran al-Quran yang mutlak ini tidak terpengaruh oleh kondisi apapun yang terjadi di luarnya.
Karena itu, jika kemudian diyakini bahwa ayat-ayat kauniyah dalam al-Quran tidak bisa dipahami kecuali dengan teori-teori sains yang terus berkembang dari waktu ke waktu, itu sama artinya dengan mendistorsi keyakinan yang telah final ini. Sebab teori-teori dan kebenaran-kebenaran ilmiah bersifat relatif; yang saat ini dianggap sebagai kebenaran, sangat mungkin kelak akan dicampakkan, sebab ada bukti-bukti ilmiah baru yang mementahkannya. Karena itu mustahil jika pemahaman yang benar terhadap ayat-ayat sains dalam al-Quran bertumpu pada teori-teori ilmiah yang terus berkembang dan relatif.[25]
Selanjutnya Dr. Quraish Shihab yang merupakan penentang corak tafsir ini menjelaskan bahwa memang ada sekian banyak kebenaran ilmiah yang dipaparkan al-Quran, akan tetapi tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut adalah untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan keesaannya. Serta mendororng manusia seluruhnya untuk mengadakan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaan kepada-Nya.[26]
Berkenaan dengan ini, Mahmud Syaltut (Tth:21) dalam tafsirnya berkata: “Sesungguhnya Tuhan tidak menurunkan al-Quran untuk menjadi satu kitab yang menerangkan kepada manusia mengenai teori-teori ilmiah, prolem-problem seni, serta aneka ragam pengetahuan”. Artinya al-Quran tidak diturunkan sebagai kitab sains, namun sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Untuk memperkuat pendapat ini, Dr. Quraish Shihab menampilkan beberapa ayat terkait dengan asbabun-nuzul-nya. Beliau berkata, “Di dalam asbabun-nuzul diterangkan, bahwa pada suatu hari, datang seseorang kepada rasul dan bertanya, ‘Mengapakah bulan kelihatan kecil bagaikan benang kemudian membesar sampai menjadi purnama yang sempurna?’ Lalu rasulullah mengembalikan jawaban pertanyaan tersebut kepada Allah yang berfirman:
* štRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur
                                    Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji. (QS. Al-Baqarah: 189)
Jawaban al-Quran bukan jawaban ilmiah (sains), akan tetapi jawaban-jawabannya itu sesuai dengan tujuan-tujuan pokoknya.
Ada juga yang bertanya mengenai ruh, lalu al-Quran menjawab:
štRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ̍øBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ  
Artinya:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra’: 85)
Al-Quran tidak menerangkan hakikat ruh, karena tujuan pokok al-Quran bukan menerangkan persoalan-persoalan ilmiah. Akan tetapi, tujuannya adalah memberikan petunjuk kepada manusia demi kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat kelak.[27]
Dengan alasan dan  argumen di atas, jelaslah bahwa teori-teori sains modern tidak perlu mengambil peran dalam tafsir al-Quran, dan karena itu jelas pulalah, bahwa pernyataan tentang ayat-ayat sains tidak bisa dipahami kecuali dengan teori-teori sains, merupakan pernyataan yang riskan, sebab bisa memunculkan pemahaman bahwa para sahabat, tabiin, dan para ulama yang tidak membahas ayat-ayat sains dengan teori-teori ilmiah modern, tidak mengetahui arti al-Quran secara tepat, mendalam dan holistik. Padahal bagaimanapun telah disepakati, bahwa pemahaman para sahabat adalah yang terbaik daripada yang sesudahnya, sebab merekalah yang langsung belajar al-Quran kepada nabi, mengenai arti kata dan tafsirnya, mengetahui sebab diturunkanya, nasikh mansukh-nya, dan lain sebagainya.[28]

2.3.3        Contoh Ayat-Ayat Sains dalam Al-Quran
Seperti yang telah diketahui, al-Quran memang bukan buku sains. Namun, banyak fakta ilmiah yang dinyatakan secara sangat mendalam dan padat dalam ayat-ayatnya, baru ditemukan dengan teknologi abad ke-20. Fakta-fakta ini tidak mungkin bisa diketahui pada saat al-Quran diturunkan, dan ini justru lebih membuktikan bahwa al-Quran adalah firman Allah. Sekarang mari kita cermati contoh-contoh ayat sains yang diungkapkan al-Quran.

A. Penciptaan Alam Semesta
Asal mula alam semesta diuraikan al-Quran dalam beberapa ayat berikut:
1.      surat al-An’am ayat 101
ßìƒÏt/ ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( 4¯Tr& ãbqä3tƒ ¼çms9 Ó$s!ur óOs9ur `ä3s? ¼ã&©! ×pt6Ås»|¹ ( t,n=yzur ¨@ä. &äóÓx« ( uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇÊÉÊÈ  
Arinya:
“Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak Padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.”
2.      surat al-Ankabut ayat 44
t,n=y{ ª!$# ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Èd,ysø9$$Î/ 4 žcÎ) Îû šÏ9ºsŒ ZptƒUy šúüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 ÇÍÍÈ  
Arinya:
Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang mukmin.
Informasi yang diberikan al-Quran ini sepenuhnya sesuai dengan temuan sains masa kini. Harun Yahya sebagai ilmuwan kontemporer berpendapat bahwa kesimpulan yang dicapai astrofisika saat ini adalah bahwa seluruh alam semesta, bersamaan dengan dimensi dan waktu, muncul sebagai akibat dari ledakan besar yang terjadi dalam ketiadaan waktu. Peristiwa ini, yang dikenal sebagai “Big Bang”, membuktikan bahwa alam semesta telah diciptakan dari ketiadaan sebagai hasil ledakan satu titik tunggal. Kalangan ilmuwan modern sependapat bahwa “Big Bang” adalah satu-satunya penjelasan masuk akal yang dapat dibuktikan untuk permulaan dan penciptaan alam semesta.
Sebelum Big Bang, materi itu tidak ada dari kondisi “ketiadaan” ketika materi energi bahkan waktu, tidak ada dan kondisi itu hanya dapat digambarkan secara metafisis materi, energi dan waktu diciptakan. Fakta yang ditemukan baru-baru ini oleh fisika modern, telah diterangkan oleh al-Quran kepada kita 1400 tahun lalu.[29]

B. Meluasnya Alam Semesta
Di dalam al-Quran, ketika ilmu astronomi masih primitif, perluasan alam telah digambarkan pada ayatnya:
uä!$uK¡¡9$#ur $yg»oYøt^t/ 7&÷ƒr'Î/ $¯RÎ)ur tbqãèÅqßJs9 ÇÍÐÈ  
Artinya:
Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”
Para ahli tafsir menafsirkan berbeda-beda pada lafad “wa inna lamusi’un”. Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai “laqadirun” artinya yang kuasa, ada juga yang menafsirkannya dengan “ladzu sa’ah” (yang mempunyai keluasan), maksudnya Allah tidak akan kesulitan untuk menciptakan langit atau yang lain yang diinginkannya, dan ada pula yang mengartikan sebagai “lamusi’un ar-rizqi ‘ala kholqina” artinya Allah adalah yang meluaskan rizki atas makhluknya.[30]
Tentang masalah ini Dr. Kamalul Muwail berpendapat bahwa yang tampak pada kita sesungguhnya lafad tersebut berhubungan dengan bangunan, yang dalam ayat ini adalah langit, dan di sana tidak ada sesuatu yang menunjukkan bahwa sesungguhnya lafad tersebut berhubungan dengan rizki dan kekuasaan Allah. Jadi, makna ayat tersebut menurut beliau adalah “Sesungguhnya Kami benar-benar meluaskan bangunan (langit) itu.”[31]
Sementara itu Harun Yahya dalam bukunya menjelaskan kata langit. Menurut beliau, kata langit, seperti yang dinyatakan dalam ayat di atas, digunakan di pelbagai tempat dalam al-Quran dengan arti ruang angkasa dan alam semesta. Di sini, kata itu digunakan lagi dengan arti tersebut. Dengan kata lain, dalam al-Quran diungkapkan bahwa alam semesta mengalami perluasan, dan ini tepat sama dengan kesimpulan yang dicapai sains saat ini.[32]
Pada awal abad ke-20, seorang fisikawan Rusia, Alexander Friedman dan ahli kosmologi Belgia George Lemaitre telah membuat pengiraan secara teoritis bahwa alam semesta senantiasa bergerak dan berkembang.
Fakta ini dibuktikan juga dengan menggunakan data pengamatan pada tahun 1929. ketika mengamati langit dengan teleskop, Edwin Hubble, seorang astronom Amerika, menemukan bahwa bintang-bintang dan galaksi terus bergerak saling menjauhi. Sebuah alam semesta, di mana segala sesuatunya terus bergerak menjauhi satu sama lain, berarti juga alam semesta tersebut terus-menerus berkembang. Pengamatan yang dilakukan di tahun-tahun berikutnya memperkokoh fakta bahwa alam semesta terus mengembang.[33]
Sampai hari ini, dengan bantuan alat yang lebih canggih banyak penemuan-penemuan lain yang semakin menguatkan teori pengembangan alam. Pada tanggal 16 Maret 2006, di bawah tajuk “Astronomers Defect First Split-Second Of The Unifers”, space.com melaporkan bahwa pakar-pakar astronomi NASA menemukan bukti-bukti baru yang nengukuhkan lagi teori Big Bang. Mereka mendapatkan, pada tahap awal terjadinya kosmos, alam ini adalah lebih kecil daripada atom. Kemudian pada masa satu perstriliun, ia mengembang sehingga menjadi kosmos yang luas. Penemuan ini dilaporkan data yang disalurkan oleh satelit NASA yang diumumkan pada tahun 2001. Satelit ini dikenal sebagai “Wilkinson Microwave Anistropi Probe  atau WMAP.[34]
Dari beberapa penemuan di atas maka jelaslah bahwa teori alam mengembang telah diterangkan dalam al-Quran pada saat tidak seorang pun mengetahuinya. Ini dikarenakan al-Quran adalah firman Allah Sang Pencipta, dan Pengatur keseluruhan alam semesta.

C. Bentuk Bulat Planet Bumi
Tentang bentuk bumi, terjadi perdebatan antara para ilmuwan sampai pada awal abad ke-16. dan pada waktu itu mayoritas pelajar menyatakan bahwa bentuk bumi itu datar, serta sedikit yang mengatakan bumi itu bulat.[35]
Sedangkan Allah telah menyinggung tentang bentuk bulat bumi dalam al-Quran-Nya yang berbunyi:
âÈhqs3ムŸ@øŠ©9$# n?tã Í$pk¨]9$# âÈhqs3ãƒur u$yg¨Y9$# n?tã È@øŠ©9$# (
Artinya:
“Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam”. (QS. Az-Zumar: 5)
Dalam al-Quran, kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan tentang alam semesta sungguh sangat penting. Kata Arab yang diterjemahkan sebagai ”menutupkan” adalah lafad “Takwir”. Menurut Dr. Kamal, makna “Takwir” adalah berputar dan menyelubungi, dan yang dimaksud ayat di atas adalah bahwa malam dan siang memutari bumi dan menyelimutinya. Dan sesungguhnya konsep yang seperti ini tidak mungkin terjadi kecuali kalau bumi bulat.[36]
Ini berarti bahwa al-Quran yang telah diturunkan pada abad ke-7 telah mengisyaratkan tentang bentuk planet bumi yang bulat. Namun, perlu diingat bahwa ilmu astronomi kala itu memahami bumi secara berbeda. Di masa itu, bumi diyakini berbentuk bidang datar dan ada gunung-gunung tinggi pada sisinya yang berguna sebagi tiang langit, dan semua perhitungan dan penjelasan ilmiah didasarkan pada keyakinan ini.[37] Sebaliknya, ayat-ayat al-Quran berisi informasi yang hanya mampu kita pahami dalam satu abad terakhir.

D. Atmosfer
Dalam al-Quran, Allah mengarahkan perhatian kita kepada sifat yang sangat menarik tentang langit, yaitu:
$uZù=yèy_ur uä!$yJ¡¡9$# $Zÿø)y $Wßqàÿøt¤C ( öNèdur ô`tã $pkÉJ»tƒ#uä tbqàÊ̍÷èãB ÇÌËÈ  
Artinya:
“Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya”. (QS. Al-Anbiya’: 32)
Ayat ini menyatakan bahwa langit memiliki pelindung. Sifat ini telah dibuktikan oleh penelitian abad ke-20.
Atmosfer yang melingkupi bumi berperan sangat penting bagi berlangsungnya kehidupan. Tentang kegunaan atmosfer, Harun Yahya telah menjelaskannya secara luas. Menurut beliau, atmosfer berguna untuk menghancurkan sejumlah meteor besar ataupun kecil. ketika mereka mendekati bumi, atmosfer mencegah mereka jatuh ke bumi dan membahayakan makhluk hidup.
Selain itu, atmosfer juga menyaring sinar-sinar dari ruang angkasa yang membahayakan kehidupan. Menariknya, atmosfer hanya membiarkan agar ditembus oleh sinar-sinar yang berguna seperti cahaya tampak, sinar ultraviolet tepi dan gelombang radio.[38]
Tidak hanya atmosfer yang melindungi bumi dari pengaruh berbahaya. Selain atmosfer, sabuk Van Allen, suatu lapisan yang tercipta akibat adanya medan magnet bumi, juga berperan sebagai perisai melawan radiasi berbahaya yang mengancam planet kita. Radiasi ini, yang terus-menerus dipancarkan oleh matahari dan bintang-bintang lainnya, sangat mematikan bagi mahluk hidup.[39]
Singkatnya, sebuah sistem sempurna sedang bekerja jauh tinggi di atas bumi. Ia melingkupi bumi kita dan melindunginya dari berbagai ancaman dari luar angkasa.
Para ilmuwan baru mengetahuinya sekarang, sementara berabad-abad lampau, kita telah diberi tahu oleh al-Quran tentang atmosfer bumi  yang berfungsi sebagai lapisan pelindung bumi.



BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Setelah wafatnya rasulullah, muncullah beberapa metode tafsir baru karena tidak ada lagi seorang mubayyin (penjelas) terhadap arti dan kandungan Al-Quran. Metode-metode tersebut antara lain, metode an-Naqli, yaitu metode yang memakai Al-Quran, penafsiran rasulullah, sahabat, dan tabiin sebagai landasannya; metode sastra bahasa, yaitu metode penjelasan al-Quran dengan memandang lafad-lafad dan susunan bahasa Arab ketika Al-Quran diturunkan; metode al-Aqli, yaitu penafsiran dengan jalan ijtihad setelah mengetahui beberapa hal yang berhubungan dengan bahasa Arab; metode ijtihad, yakni menafsirkan Al-Quran dengan jalan ijtihad, dan metode ini sama dengan an-Naqli, metode filsafat dan teologi, yaitu metode yang dipengaruhhi oleh ilmu filsafat dan teologi; dan metode sufistik. Metode filsafat sufistik dibagi menjadi dua bagian, tafsir sufistik teoritis dan tafsir sufistik ‘isyari’. Jenis pertama didasarkan atas prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dan bukan memahami secara tekstual. Jenis kedua tidak menggunakan prinsip-prinsip sufistik tertentu, akan tetapi menggunakan sarana intuitif dalam mencapai makna-makna tersirat ayat Al-Quran.
Tafsir ilmi atau tafir sains menurut bahasa terdiri dari dua kata tafsir dan sains, tafsir berarti menerangkan dan menjelaskan sesuatu, sedangkan sains adalah ilmu pengetahuan sistematik yang dapat dibuktikan kebenarannya. Menurut istilah, tafsir sains diartikan berbeda-beda oleh ulama dan dapat disimpulkan sebagai metode untuk mengungkap makna ayat-ayat Al-Quran dengan menggunakan kenyataan ilmiah sesuai dengan makna kebahasaan dan  hasil-hasil penelitian alam semesta.
Syarat-syarat tafsir sains secara garis besar terdiri dari dua syarat, yaitu memperhatikan gaya Al-Quran dalam menyampaikan hakikat-hakikat alam semesta dan memperhatikan ketentuan yang harus dimiliki seseorang yang akan menerapkan tafsir sains.
Para ulama menghukumi tafsir sains secara berbeda-beda, ada yang mendukung dan ada juga yang menolaknya. Para pendukung tafsir sains berlandaskan pada firman Allah yang artinya “Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang luas di atas mereka, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasinya, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun” (QS. Qaf:6). Pada ayat tersebut Allah menggalakkan kita supaya mengkaji bagaimana langit dibangun dan tentunya harus memakai sains. Sedangkan yang menolak tafsir sains, berlandaskan pada firman Allah yang artinya ”Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”. Pada ayat ini al-Quran tidak memberikan jawaban ilmiah tentang bulan, akan tetapi penjelasannya sesuai dengan tujuan pokok al-Quran. Banyak teori sains yang cocok dengan al-Quran seperti penciptaan alam semesta, meluasnya alam semesta, bulatnya bumi, atmosfer dan lain-lain yang mana teori itu telah diperkuat dengan penelitian-penelitian ilmiah.

B. Saran
Tafsir sains adalah salah satu cara yang tepat untuk menunjukkan konsep bahwa Al-Quran adalah kitab yang sesuai dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Maka dari itu selayaknya kita mempelajarinya guna sebagai salah satu jalan pengokoh iman kita dan untuk menjawab tantangan kaum kuffar, yang secara implisit telah mempertanyakan keabsahan kitab kita. Akan tetapi, seandainya kita melihat pada kaidah usulfikih yang menyatakan bahwa al-khuruj minal-ikhtilaf mustahabbatun, maka kita baiknya untuk tidak menggunakan tafsir sains dalam metode penafsiran al-Quran.

















DAFTAR PUSTAKA

ü Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. 2005. Ihya’ Ulumiddin. Beirut: Darul Kutub
ü Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. 1985. Jawahirul-Quran. Beirut: Darul Ihya’ al-Ulum
ü Al-Muwail, K. 2002. Ayatut-Thabi’iyah fil-Quran. Suriah: Maktabah al-Farabi
ü Al-Qurthubi, Abu Abbdillah Muhammad bin Muhammad Al-Anshari. 1964. Al-Jami’li Ahkamil-Quran. Beirut: Darul Kutub Al-Mishriyah
ü Ibnu Katsir, Abil-Fada’ Al- Hafidz. 2006. Tafsir al-Quran Al-Karim. Beirut: Darul Kutub
ü Imron, M. Tth. Dhiyaut-Taysir fi Ilmami Manahijut-Tafsir. Tt: Tp
ü Imron, M. Tth. Dirosah anit-Tafsir ‘Ilmi. Tt: Tp
ü Ismal, A.Q & Ahmad, M.A. 1430H. Menelaah Pemikiran Agus Mustofa. Pasuruan: Pustaka Sidogiri
ü Munawwir, A.W. 1997. Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif
ü Partanto, P.A.Tth. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka
ü Shihab, M.Q. 2004. Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan
ü Syaltut,M. Tth. Tafsir Al-Quran Al-Karim. Kairo: Darul Qolam
ü Yahya, H. 2007. Al-Quran dan Sains. Bandung: Dzikra




[1] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azim (Beirut: Darul kutub, 2006) ,hal. 94
[2]  Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 72-73
[3]  Ibid, p. 71
[4]  Muzammil Imron, Dhiya’ at-Taysir, (tt: tp, tth), hal. 14
[5]  Ibid.
[6]  Ibid, hal. 24
[7]  Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 83-84
[8]  Muzammil Imron, Dhiyaut-Taysir, (tt: tp, tth ), hal. 22
[9]  Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 72
[10]  Muzammil Imron, Op.Cit, hal. 24
[11]  Quraish Shihab, Lop. Cit
[12]  Muzammil Imron, Op.Cit, hal. 30-31.
[13]  Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 72
[14] Muzammil Imron, Op.Cit, hal. 35-36.
[15] Ibid. hal. 36
[16] Ahmad Warson Munawwir, AL-Munawwir Kamus Arab-indonisia (Surabaya: Pustaka Proggresif , 1997) P. 1055.
[17] Muzammil Imron, Dirosah anit-Tafsir al-Ilmi (t.t:t.p,t.th),hal. 1.
[18] Pius A partanto dan M. Dahlam AL-Barry, Kamus ilmiah popular (Surabaya: Arloka, tth)
[19] Muzammil Imron, Loc.cit.
[20] Ibid, hal. 2.
[21] Ahmad Qusyairi Ismail dan Mohammad Achyat Ahmad, Menelaah Pemikiran Agus Mustofa ,(Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 1430H), hal. 82.
[22]  Ibid
[23] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumid-Din (Beirut: Dar Al-kutub, 2005), hal. 405
[24] Al-Ghazali, Jawahirul Quran, (Beirut: Darul- Ihya’ Al-Ulum:1985), hal. 45.
[25]  Ahmad Qusyairi dan Muhammad Achyat Ahmad, Menelaah Pemikiran Agus Musthofa, (Pasuruan: pustaka sidogori, 2010), hal. 85-88
[26]  Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2004)
[27]  Ibid.
[28]  Ahmad Qusyairi dan Muhammad Achyat Ahmad, Menelaah Pemikiran Agus Musthofa, (Pasuruan: pustaka sidogori, 2010), hal. 92-93.
[29]  Harun Yahya, Al-Quran dan Sains, (Badung: Dzikra, 2007), hal. 80-81
[30]  Al-qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkamil-Quran, (Beirut: Darul-Kutub Al-Misriyyah ), juz. 17, hal. 52
[31]  Kamal Al-Muwail, Ayatut-Thabi’iyyah Fil-Quran, (Suriah: Maktabah Al-Farabi, 2002), hal. 6
[32]  Harun Yahya, Al-Quran dan Sains, (Bandung: Dzikra, 2007 ), hal. 82
[33]  Ibid, hal. 82-83
[35]  Kamal Al-Muwail, Ayatut-Thabi’iyyah Fil-Quran, (Suriah: Maktabah Al-Farabi, 2002), hal. 20
[36]  Ibid, hal. 20-21
[37]  Harun Yahya, Al-Quran dan Sains, (Bandung: Dzikra, 2007 ), hal. 80
[38]  Ibid. hal. 84-85.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar